Tahun 2016, pada tahun ini fenomena kekerasan
seksual terhadap anak dan remaja sangat mengejutkan masyarakat. Bahkan
sepanjang tahun 2016 ini, masyarakat dibuat syok dan terkaget-kaget dengan
kebanyakan kasus pelecehan seksual yang melibatkan remaja dan anak di bawah
umur. Bahkan mereka tak segan melakukan tindak kekerasan yang berujung pada
penghilangan nyawa seseorang.
Kasus yang menimpa perempuan muda Eno P, salah
satu buktinya. Korban tidak hanya diperkosa tapi juga dibunuh oleh tiga pemuda.
Dari tiga orang ini, satu diantaranya siswa sekolah menengah pertama (SMP) yang
masih berusia 15 tahun.
Belum lagi kasus kematian Yuyun yang membuat
seluruh masyarakat Indonesia, bahkan Presiden Joko Widodo pun berkomentar dan
meminta agar pelakunya ditangkap.
Berdasarkan catatan Komisi Nasional
Anti-Kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan), kasus kekerasan seksual
tahun 2016 naik menjadi peringkat kedua dengan jumlah kasus perkosaan mencapai
2.399 kasus atau 72 persen. Kemudian, kasus pencabulan mencapai 601 kasus atay
18 persen. Sementara, kasus pelecehan seksual mencapai 166 kasus atau 5 persen.
Siapakah yang bersalah dalam kasus-kasus
kejahatan seksual ini?
Menurut saya kejahatan seksual terjadi karena
adanya moral yang rusak. Moral pelaku yang melakukan kejahatan seksual,
biasanya rusak oleh berbagai macam faktor.
Faktor yang pertama adalah ‘Pergaulan bebas
hingga pengaruh internet’. Banyak pihak berpendapat pergaulan bebas, tanpa
kontrol orang tua, menjadi faktor pemicu utama. Kehadiran gadget yang dapat
mengakses berbagai macam informasi pun membuat anak-anak hingga remaja bebas
mengakses internet, situs-situs berkonten porno dan tidak mendidik serta
lainnya, mereka menyerap informasi secara buta tanpa bimbingan. Anak-anak dan
remaja juga diperlihatkan tayangan-tayangan yang tidak mendidik. Seperti cara
berpakaian mini, pacaran-pacaran di usia belia, peluk-pelukan,
rangkul-rangkulan dan banyak lagi.
Semua faktor di memiliki ‘role’ masing-masing
dalam pembentukan moral manusia dan mendorong anak-anak melakukan
tindakan-tindakan di luar nalar manusia. Mulai dari melakukan pelecehan
seksual, hingga berujung penghilangan nyawa seseorang.
Faktor kedua adalah ‘Kurangnya pendidikan atau
perhatian dalam keluarga’. Kurangnya pendidikan bimbingan orang tua dalam
perkembangan anak juga dapat memicu kerusakan moral anak tersebut. Berdasarkan
teori perkembangan psikososial dari Erik Erikson, remaja berusaha mencari
identitas dirinya dari orang-orang yang mereka kenal atau orang di sekililingnya.
Nilai dan hal yang dilakukan orang di sekelilingnya akan mereka tiru dan
terapkan dalam kehidupan mereka. Maka sebaiknya orang tau membimbing dan
mengawasi anaknya agar tidak terjerumus ke dalam dunia yang berbau negatif.
Pihak lain yang berperan besar dalam
pembentukan karakter anak adalah sekolah. Sekolah harus menyediakan wadah bagi
remaja dan anak untuk menyalurkan minat dan bakatnya. Teori identitas diri yang
di kembangkan oleh James E Marcia mengemukakan, remaja sebaiknya diberi
kesempatan untuk menentukan peran yang mereka inginkan. Setelah mereka
mendapatkan penjelasan mengenai berbagai peluang dan situasi positif, mereka
akan merasa tertantang untuk memahami kondisi itu dan memahami lebih lanjut.
Berikutnya media memiliki peran penting,
tayangan-tayangan dengan segemen anak dan remaja harus disortir agar sesuai
dengan nilai-nilai agama dan social masyarakat Indonesia.
Dengan adanya kerja sama dari pihak-pihak
berikut maka kasus-kasus kekerasan seksual yang melibatkan remaja dan anak ataupun
orang dewasa dapat ditekan.